Praktisi Hukum: Tidak Boleh Ada Kompromi dalam Kasus Pencabulan Anak


Sirompaspara.com | Tapsel - Praktisi hukum Adv Teruna Abadi Lubis, SH, menegaskan bahwa kasus dugaan pencabulan terhadap anak yang kini ditangani Polres Tapanuli Selatan (Tapsel) harus diproses secara tegas tanpa kompromi.

“Negara harus hadir penuh dalam kasus ini. Jangan ada pihak manapun yang mencoba melindungi pelaku, baik itu aparat desa, tokoh masyarakat, maupun oknum lain. Penegakan hukum harus murni demi kepentingan korban dan masa depan mereka,” tegas Teruna, Minggu (31/8/2025).


Ia menambahkan, apalagi terdapat dua korban sekaligus, yang memperkuat dugaan bahwa kasus ini bukan peristiwa tunggal, melainkan pola perbuatan serius. Karena itu, mekanisme restorative justice tidak boleh digunakan.


“Restorative justice tidak relevan untuk kasus kejahatan seksual terhadap anak. Negara wajib memastikan pelaku dihukum seberat-beratnya agar ada efek jera, sekaligus menjamin hak anak untuk pulih dan tumbuh tanpa trauma berkepanjangan,” jelasnya.


Teruna juga menegaskan bahwa penyidik kepolisian tidak boleh melakukan upaya damai terkait kasus anak, terlebih lagi kekerasan seksual. “Apapun alasannya, penyidik tidak boleh menggunakan restorative justice dalam kasus kekerasan seksual terhadap anak. Ini sudah menjadi atensi pemerintah pusat dan diatur secara khusus sebagai lex spesialis dalam hukum perlindungan anak,” tandasnya.


Sebagai landasan hukum, Teruna mengacu pada Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, Pasal 81 ayat (1) dan (2), yang mengatur pidana penjara minimal 3 tahun dan maksimal 15 tahun, serta denda minimal Rp60 juta hingga Rp150 juta bagi pelaku persetubuhan dengan anak di bawah umur.


Sementara itu, Kanit PPA Sat Reskrim Polres Tapsel, Ipda Tahan Simanungkalit, SH, menyampaikan bahwa berkas perkara kasus dugaan pencabulan tersebut telah dilimpahkan dan kini berstatus P22.

Ia menegaskan, kepolisian memastikan hak-hak korban tetap menjadi prioritas melalui pendampingan psikologis dan koordinasi bersama Dinas PPPA serta Dinas Sosial Tapsel.

Kasus ini sendiri berawal dari laporan dugaan pencabulan dengan terlapor berinisial DSP. Korban pertama, NH (11), mengaku pernah mengalami perbuatan cabul di salah satu kebun di Kecamatan Sayur Matinggi pada tahun 2024.

Selain NH, saksi lain berinisial NF (9) juga diduga mengalami perlakuan serupa. Hal itu terungkap setelah ayahnya curiga karena terlapor kerap mengantarkan NF sepulang sekolah.

“Kami hanya ingin keadilan untuk anak-anak kami. Harapan kami, jaksa bisa menegakkan hukum seadil-adilnya,” ungkap salah satu keluarga korban. (S/s)